Opini

Pilkada Tidak Langsung: Efisiensi Demokrasi atau Perdagangan Kekuasaan?

Tim Redaksi
20
×

Pilkada Tidak Langsung: Efisiensi Demokrasi atau Perdagangan Kekuasaan?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Penawali

Ilustrasi Pemilu

Opini, SULSELNOW – Wacana pilkada melalui DPRD dengan alasan efisiensi anggaran tampak seperti solusi praktis di permukaan, namun menyimpan potensi masalah yang jauh lebih besar.

Di tengah suburnya politik transaksional, gagasan ini justru dapat memperkuat oligarki daripada memperbaiki demokrasi.

Efisiensi yang diusung mungkin menekan biaya formal pemilu, tetapi membuka peluang besar bagi “jual beli suara” di tubuh DPRD.

Dengan anggaran yang jauh lebih kecil dibandingkan biaya memobilisasi rakyat, seorang oligark cukup membayar sejumlah anggota legislatif untuk meloloskan calon bonekanya. Hasilnya? Kepala daerah bukan lagi cerminan aspirasi rakyat, melainkan kepanjangan tangan kekuatan modal.

Masalah lain terletak pada kredibilitas anggota legislatif. Banyak pihak mempertanyakan sejauh mana mereka benar-benar mewakili rakyat.

DPRD sering kali lebih sibuk dengan kepentingan kelompok dan partai daripada memperjuangkan nasib buruh, tani, nelayan, atau guru.

Bahkan, aspirasi kelompok-kelompok ini sering kali termarjinalkan karena tidak adanya representasi khusus dalam politik formal. Sistem politik saat ini tidak menawarkan ruang yang cukup untuk suara-suara dari berbagai profesi penting yang menopang kehidupan masyarakat.

Kritik ini memunculkan usulan yang menarik: mengganti DPRD dengan Dewan Perwakilan Profesi (DPP). DPP menawarkan pendekatan representasi berbasis profesi, di mana setiap sektor memiliki keterwakilan yang relevan dan ahli.

Dengan adanya komisi-komisi seperti Komisi Tani, Komisi Pendidikan, atau Komisi Nelayan, regulasi yang dihasilkan lebih berakar pada kebutuhan nyata masyarakat.

Hal ini sekaligus menjawab kritik terhadap anggota DPRD yang sering kali memegang kendali di bidang yang jauh dari kompetensinya.

Namun, di balik semua itu, esensi demokrasi yang sejati adalah keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Demokrasi tidak seharusnya hanya menjadi panggung formal untuk legitimasi kekuasaan, tetapi alat nyata untuk memperjuangkan rakyat.

Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat mungkin menghabiskan biaya besar, tetapi memberikan peluang lebih besar bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar mereka percayai.

Mengubah sistem pilkada menjadi tidak langsung tanpa reformasi fundamental pada sistem pemilihan legislatif dan struktur partai politik hanya akan memperburuk keadaan.

Demokrasi sejati membutuhkan transparansi, representasi yang adil, dan keterlibatan rakyat yang aktif.

Pilkada langsung, meski mahal, tetap menjadi instrumen paling demokratis untuk memastikan rakyat berada di pusat kekuasaan.

Sebaliknya, pilkada oleh DPRD hanya akan menjadi panggung baru bagi oligarki untuk melanggengkan pengaruhnya. (*)