Opini, SULSELNOW – Demokrasi adalah fondasi utama dalam sistem pemerintahan Indonesia, dan salah satu aspek paling mendasar dari demokrasi adalah pemilu yang jujur, adil, dan transparan.
Namun, di balik kemeriahan pilkada, terkadang ada sisi gelap yang menodai integritas proses tersebut.
Salah satu kasus yang baru saja mencuat adalah temuan 1,6 juta tanda tangan palsu dalam proses Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan (Pilgub Sulsel).
Sebuah Temuan yang Mengguncang
Pada 10 Januari 2025, tim hukum pasangan calon gubernur Sulawesi Selatan nomor urut 1, Moh. Ramdhan ‘Danny’ Pomanto dan Fatmawati Rusdi, mengungkapkan temuan mencengangkan dalam proses Pilgub Sulsel.
Mereka menemukan bahwa lebih dari 1,6 juta tanda tangan yang digunakan untuk mendukung pasangan calon tertentu, ternyata palsu.
Temuan ini didasarkan pada audit terhadap dokumen-dokumen yang diajukan oleh KPU Sulsel.
Tanda tangan palsu ini ditemukan di sejumlah daerah yang menjadi basis pemilih di Sulawesi Selatan, dan hal ini menjadi bukti kuat adanya manipulasi dalam proses pendaftaran calon.
Tim hukum menilai bahwa temuan ini tidak hanya mencoreng proses Pilgub Sulsel, tetapi juga bisa berdampak besar pada integritas pemilu di Indonesia.
Bagaimana Ini Bisa Terjadi?
Pemilu adalah momen krusial di mana rakyat menentukan masa depan bangsa melalui hak pilih mereka.
Di balik setiap pemilihan, terdapat mekanisme yang memastikan bahwa hanya calon yang memenuhi persyaratan yang dapat bertarung di gelanggang pemilu.
Salah satu persyaratan utama dalam pencalonan gubernur adalah pengumpulan dukungan dalam bentuk tanda tangan dari masyarakat.
Biasanya, sejumlah tanda tangan ini diajukan untuk menunjukkan bahwa calon yang bersangkutan memiliki basis dukungan yang kuat.
Namun, ketika tanda tangan tersebut ditemukan palsu, hal ini menggugurkan prinsip dasar keabsahan sebuah pemilu: transparansi dan keadilan.
Pihak yang melakukan pemalsuan bisa memanipulasi hasil dengan merusak integritas proses pengumpulan dukungan.
Dalam konteks ini, kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi bisa terguncang.
Jika pemalsuan bisa terjadi di tingkat pendaftaran calon, bayangkan potensi manipulasi lain yang mungkin terjadi di tingkat yang lebih tinggi.
Konteks Intelektual: Menguji Moralitas Demokrasi
Filsafat politik menawarkan pandangan yang dalam tentang bagaimana demokrasi seharusnya dijalankan.
Dalam pandangan para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga moralitas dan keadilan.
Demokrasi harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang menciptakan kesejahteraan bersama, di mana keadilan tidak hanya untuk para penguasa, tetapi juga untuk rakyat yang memberi mandat.
Namun, dalam praktiknya, demokrasi seringkali terjebak dalam jaring-jaring ambisi pribadi dan kepentingan politik yang sempit.
Ketika tanda tangan palsu digunakan sebagai alat untuk memenangkan sebuah kontestasi, maka esensi dari demokrasi itu sendiri telah tercemar.
Ini bukan hanya masalah legalitas, tetapi masalah moralitas dalam politik.
Sebagai anak muda yang menginginkan perubahan, saya merasa bahwa demokrasi di negeri ini tidak boleh hanya menjadi formalitas.
Kita harus sadar bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika setiap individu dan pihak yang terlibat menjunjung tinggi kejujuran dan integritas.
Jika kita terus membiarkan praktik-praktik manipulatif ini, bagaimana kita bisa berharap pada masa depan yang lebih baik?
Dimensi Spiritual: Keadilan dalam Pandangan Agama
Selain perspektif intelektual, kita juga perlu melihat persoalan ini dari sudut pandang spiritual.
Dalam Islam, misalnya, pemalsuan tanda tangan adalah bentuk penipuan yang jelas dilarang.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menipu, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim).
Penipuan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam konteks politik, adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kejujuran yang dipegang teguh dalam ajaran agama.
Keadilan dalam agama menuntut agar setiap individu dan kelompok bertindak sesuai dengan hakikat kebenaran.
Menggunakan tanda tangan palsu untuk meraih kekuasaan adalah perbuatan yang merusak tatanan masyarakat yang adil.
Dalam konteks spiritual, setiap keputusan dan tindakan haruslah membawa dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan justru merugikan dan menciptakan ketidakadilan.
Mengarah ke Solusi
Temuan 1,6 juta tanda tangan palsu di Pilgub Sulsel harus menjadi titik balik dalam perjalanan demokrasi Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga moral dan spiritual.
Oleh karena itu, pemerintah, partai politik, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa pemilu di Indonesia, termasuk Pilgub Sulsel, berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan adil.
Sebagai generasi muda, kita harus berani bersuara dan mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem yang rusak ini.
Kita tidak bisa terus menerus menerima sistem yang penuh dengan manipulasi. Jika kita benar-benar ingin melangkah ke arah demokrasi yang lebih baik, kita harus mulai dengan menjaga kejujuran di setiap tahapan.
Tanpa itu, kita hanya akan terjebak dalam siklus manipulasi dan ketidakpercayaan yang tak ada habisnya.
Kesimpulan
Temuan 1,6 juta tanda tangan palsu di Pilgub Sulsel menjadi pengingat bagi kita semua bahwa demokrasi harus dijaga dengan kejujuran dan integritas.
Politik bukanlah sekadar permainan untuk meraih kekuasaan, tetapi perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial yang hakiki.
Dengan memastikan proses pemilu yang bersih, kita bisa menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan, pada akhirnya, membangun masa depan bangsa yang lebih baik.
Sebagai anak muda, inilah saatnya bagi kita untuk berani menyuarakan perubahan dan memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap berjalan dengan adil dan jujur. (*)