MAKASSAR – Bagi rakyat Luwu Raya, tanggal 23 Januari memiliki arti mendalam, menandai semangat dan loyalitas yang tak tergoyahkan kepada Tanah Air Indonesia.
Pada hari itu di tahun 1946, sebuah peristiwa heroik membuktikan kesetiaan rakyat Luwu terhadap kemerdekaan Indonesia.
Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Datu Luwu ke-36, Andi Djemma, dengan tegas menyatakan bahwa wilayah Luwu bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini disambut dengan antusias oleh rakyat Luwu.
Sebagai tokoh pergerakan, Andi Djemma mendirikan organisasi Soekarno Muda dan turut memprakarsai Deklarasi Jongaya pada 15 Oktober 1945.
Deklarasi ini, yang diikuti oleh raja-raja Sulawesi Selatan termasuk mertuanya, Andi Mappanyukki, Raja Bone ke-32, menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia.
Namun, situasi berubah ketika pasukan Sekutu yang dipimpin Australia tiba di Makassar pada akhir September 1945 untuk melucuti tentara Jepang. Pada November 1945, kontingen Australia bersama pasukan Belanda (NICA) tiba di Palopo.
Awalnya, Andi Djemma dan pihak Australia sepakat bahwa tugas mereka sebatas melucuti tentara Jepang, sementara administrasi sipil tetap berada di bawah kendali Andi Djemma. Namun, pengumuman Brigjen Chilton bahwa rakyat Sulsel harus tunduk kepada NICA memicu ketegangan.
Puncaknya terjadi pada 21 Januari 1946, saat brigade KNIL merusak Masjid Jami’ Bua, termasuk merobek Al-Quran dan menganiaya penjaga masjid.
Tindakan ini membuat rakyat Luwu murka. Andi Djemma, bersama KH M. Ramli dan M. Yusuf Arief, mengultimatum pasukan NICA untuk meninggalkan Palopo dalam 24 jam.
Ketika ultimatum tak dipatuhi, serangan dimulai pada dini hari 23 Januari 1946. Ratusan pemuda menyerang pos-pos militer Belanda. Meski sempat menguasai kota, para pejuang terpaksa mundur karena kalah persenjataan.
Setelah pertempuran, faksi-faksi pejuang melanjutkan perjuangan secara sporadis dari hutan hingga akhirnya pada 1 Maret 1946 bersatu di bawah Pembela Keamanan Rakyat (PKR) Luwu.
Andi Djemma sendiri terus berpindah tempat demi menghindari Belanda hingga akhirnya tertangkap pada 2 Juni 1946. Bersama keluarganya, ia diasingkan hingga baru dibebaskan pada 27 Desember 1948.
Lahirnya Kerukunan Keluarga Luwu (KKL)
Sepuluh tahun setelah peristiwa heroik tersebut, pada 23 Januari 1956, diaspora Wija To Luwu berkumpul di Makassar untuk membentuk Kerukunan Keluarga Luwu (KKL).
Organisasi ini bertujuan memperkokoh silaturahmi, solidaritas sosial, dan kemampuan Wija To Luwu di berbagai bidang kehidupan.
Ketua pertama KKL adalah Letkol H. Andi Attas (1956–1971), diikuti oleh H. Andi Baso Rahim (1971–1998), Prof. Dr. H. Mansyur Ramli (1998–2010), dan Ir. H. Buhari Kahar Muzakkar (2010–2021).
Seiring waktu, KKL berkembang hingga ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta (KKTL), Palu, Kendari, dan Batam. Salah satu pencapaian besar adalah berdirinya Universitas Andi Djemma (UNANDA) pada 19 November 1997, berkat inisiatif Ikatan Profesi Dosen KKL.
Meski perjalanan organisasi ini diwarnai dinamika, semangat persatuan terus menjadi landasan. Pada 21-22 November 2021, melalui Musyawarah Nasional Bersama, dua organisasi paguyuban, KKL-Raya dan KKTL, melebur menjadi Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR).
KKLR kini menjadi satu-satunya organisasi paguyuban Wija To Luwu, memperkuat ikatan dan semangat perjuangan.
Peristiwa 23 Januari 1946 dan perjuangan panjang para pendahulu adalah warisan berharga yang terus memanggil kita untuk menjaga semangat persatuan.
Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan mereka, mewujudkan Luwu Raya sebagai Wanua Mapatuo Naewai Alena.
Luwu Raya! Provinsi!