MAKASSAR – Pelebaran defisit anggaran negara sudah di depan mata. Ini buntut dari kondisi penerimaan negara, terutama dari penerimaan pajak, yang terkontraksi dalam akibat melemahnya perekonomian dalam negeri.
Sejumlah indikator ekonomi, mengindikasikan perlambatan ekonomi masih berlanjut hingga kuartal I-2025, bahkan berpotensi berlanjut di kuartal II. Aktivitas ekonomi yang melambat ini mempengaruhi konsumsi dan investasi, yang selama ini menjadi sumber penerimaan negara.
Pengamat Ekonomi Unismuh Makassar Abdul Muthalib mengatakan, pemerintah menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan fiskal tahun ini. Realisasi penerimaan pajak berpotensi tidak mencapai target, sehingga memicu risiko pelebaran defisit anggaran yang berbahaya bagi stabilitas ekonomi nasional.
Kata Abdul, perlambatan ekonomi global dan domestik yang masih berlangsung hingga kuartal I 2025, dan diperkirakan berlanjut pada kuartal II, menyebabkan melemahnya aktivitas konsumsi dan investasi.
“Padahal dua sektor ini merupakan pilar utama basis pajak. Akibatnya, serapan pajak negara ikut tertekan dan dikhawatirkan gagal mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN 2025,” ucap Abdul, Senin (19/5/2025).
Dia menuturkan, dengan penurunan signifikan pada penerimaan negara dari pajak, sementara belanja negara tetap tinggi—termasuk untuk subsidi, bansos, dan infrastruktur, maka potensi pelebaran defisit anggaran menjadi tidak terelakkan.
“Jika tidak segera diantisipasi, defisit bisa menembus batas maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003,” ujarnya.
“Risiko jebolnya defisit sangat nyata. Bila ini terjadi, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan darurat, seperti pemangkasan anggaran atau menambah utang,” tambah dia.
Menurutnya, perlu aksi nyata dilakukan pemerintah, dengan mendorong untuk segera mengambil langkah konkret guna mengendalikan potensi krisis fiskal ini.
Pertama, optimalisasi Penerimaan Pajak: Penguatan sistem pengawasan dan penagihan, perluasan basis pajak, serta peningkatan kepatuhan wajib pajak, khususnya dari sektor informal dan digital.
Kedua, Evaluasi ulang prioritas pengeluaran negara agar diarahkan pada program yang memberikan dampak ekonomi nyata, serta penghapusan belanja-belanja non-esensial.
Ketiga, Pemulihan Ekonomi, penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang mampu merangsang konsumsi dan investasi, sehingga memperluas basis pajak secara alami.
Keempat, Reformasi Pajak Harus Dilanjutkan. Diketahui, masih terdapat kelemahan dalam sistem perpajakan nasional, seperti integrasi data yang belum sempurna dan celah dalam kepatuhan pajak.
“Reformasi administrasi perpajakan dipercepat melalui digitalisasi sistem e-filing dan e-invoice, serta penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran pajak,” jelasnya.
Kelima, Transparansi dan Peran Media, pentingnya peran media dalam mengedukasi masyarakat mengenai kondisi fiskal negara. Media juga dinilai krusial dalam mendorong transparansi kebijakan, agar publik memahami langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam menjaga keberlanjutan anggaran.
Keenam, Rekomendasi Tambahan, diversifikasi dan koordinasi. Selain optimalisasi pajak, diversifikasi sumber penerimaan negara melalui PNBP (penerimaan negara bukan pajak) juga perlu ditingkatkan, terutama dari sektor sumber daya alam.
“Di saat bersamaan, koordinasi antar lembaga seperti Ditjen Pajak, Kemenkeu, dan Bappenas dinilai penting agar target pajak disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang realistis,” ucap Abdul.
Lebih lanjut, Akademisi Unismuh Makassar ini menjelaskan, situasi fiskal Indonesia saat ini memerlukan kewaspadaan tinggi dan respons yang adaptif.
“Bila pemerintah tidak segera menyesuaikan kebijakan secara tepat, risiko jebolnya defisit bukan hanya mengganggu stabilitas APBN, tetapi juga mengancam kepercayaan pasar dan keberlanjutan pembangunan nasional,” pungkasnya. (**)