Nasional

Rupiah Terperosok ke Level Terendah Sejak 1998, Ancaman Krisis Mengintai?

Tim Redaksi
45
×

Rupiah Terperosok ke Level Terendah Sejak 1998, Ancaman Krisis Mengintai?

Sebarkan artikel ini
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024).

JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), mencatatkan posisi terburuknya dalam hampir tiga dekade terakhir.

Pada penutupan perdagangan Jumat (28/3), rupiah terdepresiasi 14 poin atau 0,08 persen ke level Rp16.676 per dolar AS, dibandingkan sehari sebelumnya di Rp16.562 per dolar AS.

Kondisi ini memicu kekhawatiran sejumlah pengamat, termasuk Hardjuno Wiwoho, seorang ahli hukum dan pembangunan, yang menilai pelemahan rupiah kali ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan krisis ekonomi 1998.

Menurut Hardjuno, depresiasi rupiah saat ini bukan sekadar angka di pasar valuta asing, tetapi mencerminkan kondisi ekonomi yang lebih kompleks. Ia membandingkan situasi saat ini dengan era krisis moneter 1998, ketika rupiah sempat anjlok ke Rp16.650 per dolar AS.

Baca:  Tausiah di Istana, UAH Tekankan Puasa sebagai Kunci Moral dan Kepemimpinan

“Dulu, saat rupiah melemah ke titik tersebut, total utang luar negeri kita hanya sekitar USD 70 miliar atau sekitar Rp1.165 triliun. Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri Indonesia telah melampaui USD 500 miliar, setara dengan Rp8.325 triliun—naik lebih dari tujuh kali lipat,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa angka ini menunjukkan bahwa nilai tukar saat ini belum sepenuhnya merefleksikan tekanan ekonomi yang sebenarnya.

Hardjuno juga menyoroti peran holding strategis BUMN, Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang memiliki aset sekitar Rp10.000 triliun.

Meski tampak besar, nilai tersebut dianggap masih kurang signifikan jika dibandingkan dengan total utang luar negeri saat ini.

Baca:  BKN Larang Kepala Daerah Terpilih Angkat Stafsus dan Tenaga Ahli, Ternyata Ini Alasannya

“Aset terbaik kita seperti Danantara pun belum tentu cukup untuk menutup seluruh utang luar negeri yang mencapai Rp8.325 triliun. Ini menjadi peringatan serius bahwa kita harus lebih hati-hati dalam mengelola keuangan negara,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hardjuno menilai pemerintah perlu lebih transparan dalam mengelola utang dan fiskal negara. Ia mengkritik kebijakan yang selama ini cenderung membiarkan utang menumpuk tanpa strategi pelunasan yang jelas.

“Setiap kali ada pergantian menteri, selalu ada warisan utang yang sama. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Persoalan ini bermula dari obligasi rekap BLBI yang terus diabaikan,” katanya.

Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara sebagai upaya efisiensi fiskal. Namun, ia menilai kebijakan ini masih memerlukan langkah lanjutan yang lebih konkret.

Baca:  Presdir PT Vale Febriany Eddy Ungkap Rahasia Bertahan di Industri Nikel di Tengah Gejolak Pasar

“Pemangkasan anggaran itu langkah awal yang baik. Tapi setelah itu, apa strategi jangka panjangnya? Kita butuh kebijakan yang lebih berani dan terencana, bukan hanya reaksi sesaat,” tambahnya.

Sebagai solusi, Hardjuno menyerukan dialog nasional untuk membahas strategi fiskal dan keberlanjutan ekonomi Indonesia ke depan.

“Kita harus mulai berbicara secara terbuka dan transparan. Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi menyangkut masa depan negara. Diperlukan solusi komprehensif yang bisa diterapkan secara nyata,” pungkasnya. (*)