EditorialInternasional

Komitmen Meritokrasi, Kabinet Baru Suriah Dipenuhi Pakar dan Profesional

Tim Redaksi
48
×

Komitmen Meritokrasi, Kabinet Baru Suriah Dipenuhi Pakar dan Profesional

Sebarkan artikel ini
Kabinet baru Suriah diisi oleh orang-orang profesional dan para pakar
Kabinet baru Suriah diisi oleh orang-orang profesional dan para pakar

PRESIDEN Suriah, Ahmad Sharaa, akhirnya mengumumkan susunan kabinet barunya pada Sabtu (29/3). Keputusan ini mengakhiri masa pemerintahan sementara yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.

Namun, yang menarik perhatian bukan hanya pengumuman itu sendiri, melainkan siapa saja yang menduduki pos pada kursi kementerian.

Dalam formasi pemerintahan terbaru, Suriah tampak serius menerapkan sistem meritokrasi, yakni menempatkan individu berdasarkan kapasitas dan keahliannya di bidang tertentu.

Tak ada wajah-wajah politisi tanpa rekam jejak atau sekadar figur populis. Sebaliknya, kabinet ini didominasi oleh akademisi, pakar, dan profesional dengan latar belakang pendidikan serta pengalaman yang kuat.

Profesionalisme di Kabinet Suriah

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah pengangkatan Mohammad Nidal al-Shaar sebagai Menteri Ekonomi. Ia merupakan seorang ekonom ternama yang memiliki gelar Ph.D. dari Universitas George Washington.

Sebelum menduduki jabatan ini, ia sempat menjadi profesor di Universitas Aleppo dan bahkan pernah menjabat sebagai Menteri Ekonomi di era pemerintahan sebelumnya.

Tak hanya itu, posisi Menteri Informasi juga diisi oleh seorang intelektual, Hamzah Mustafa, yang memiliki gelar Ph.D. dalam ilmu politik dari University of Exeter, Inggris. Ia dikenal luas dalam dunia akademik dan pernah bekerja di Arab Center for Research and Policy Studies di Doha, Qatar.

Baca:  Apa sih World Water Forum itu, Tujuan, dan Misi Indonesia sebagai Tuan Rumah?

Dengan berbagai karyanya mengenai opini publik dan peran media dalam Revolusi Suriah, kehadirannya di kabinet menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun narasi politik berbasis data dan riset.

Di bidang pendidikan, Presiden Sharaa mempercayakan posisi Menteri Pendidikan Tinggi kepada Marwan al-Halabi, seorang akademisi ternama dengan spesialisasi kedokteran reproduksi. Ia meraih gelar di bidang genetika dan embriologi dari Prancis dan telah berkontribusi dalam berbagai organisasi ilmiah internasional.

Selain itu, posisi Menteri Wakaf dipercayakan kepada Mohamed Abu El-Khair Shukry, seorang ahli dalam studi Islam yang memiliki gelar Ph.D. dalam fiqh Islam dan ushul fiqh. Ia telah mengabdikan diri sebagai akademisi selama beberapa dekade, mengajar berbagai disiplin ilmu Islam di berbagai institusi pendidikan ternama.

Tak ketinggalan, Suriah juga memasukkan unsur inklusivitas dalam kabinetnya. Hind Qabwat, seorang perempuan Kristen yang telah lama aktif dalam diplomasi dan negosiasi perdamaian, ditunjuk sebagai Menteri Perburuhan dan Urusan Sosial.

Baca:  Hebat! Dosen Peternakan Unhas Jadi Keynote Speaker Simposium Internasional di Jepang

Dengan latar belakang pendidikan dari Universitas Tufts, Amerika Serikat, dan pengalamannya di berbagai forum internasional, Qabwat diharapkan membawa pendekatan yang lebih profesional dalam menangani isu ketenagakerjaan dan sosial di Suriah.

Meritokrasi vs. Politik Patronase

Langkah Damaskus ini menandai perubahan signifikan dalam pendekatan pemerintahan di Suriah, yang sebelumnya dikenal dengan sistem politik yang didominasi oleh loyalis dan kepentingan politik tertentu.

Pemilihan individu dengan latar belakang akademik yang kuat mencerminkan keinginan untuk membangun kembali negara dengan landasan keilmuan, bukan sekadar kepentingan politik sesaat.

Namun, pertanyaannya: Apakah pendekatan ini bisa menjadi contoh bagi negara lain, termasuk Indonesia?

Dalam beberapa periode terakhir, kabinet di Indonesia sering kali diisi oleh tokoh-tokoh dengan latar belakang politik kuat, tetapi minim keahlian di bidang yang mereka pimpin.

Tak jarang, posisi strategis justru diberikan kepada mereka yang dianggap memiliki jasa politik atau kedekatan dengan penguasa, bukan berdasarkan kompetensi dan pengalaman teknis.

Kondisi ini sering kali menimbulkan kritik, terutama terkait efektivitas kebijakan yang dihasilkan. Dengan realitas politik Indonesia yang kerap mengutamakan keseimbangan kekuasaan daripada keahlian teknokratis, sulit untuk mengharapkan pemerintahan yang benar-benar berbasis meritokrasi seperti yang tengah diupayakan di Suriah.

Baca:  Membanggakan! Danny Pomanto Wakili Indonesia Jadi Pembicara Seminar Internasional di Jepang

Masa Depan Suriah di Tangan Kabinet Baru

Tentu, tantangan kabinet baru Suriah tidaklah ringan. Negara itu masih dalam proses pemulihan setelah bertahun-tahun dilanda konflik berkepanjangan.

Stabilitas politik dan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Namun, setidaknya langkah awal yang mereka ambil dengan menunjuk para profesional di posisi strategis dapat menjadi modal penting bagi rekonstruksi Suriah.

Kini, tinggal menunggu bagaimana kabinet ini akan bekerja. Apakah mereka benar-benar mampu membawa perubahan yang diharapkan, ataukah sistem lama akan kembali menghambat kemajuan?

Satu hal yang pasti, keputusan Presiden Ahmad Sharaa ini memberikan harapan bahwa politik berbasis meritokrasi masih bisa menjadi kenyataan di sebuah negara yang baru keluar dari krisis.

Sementara itu, di Indonesia, perdebatan tentang meritokrasi vs. politik patronase masih terus berlangsung. Pertanyaannya, apakah kita siap untuk mengikuti jejak Suriah dalam menempatkan pakar di posisi strategis? (*)