MAROS – Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Maros angkat bicara terkait polemik kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan seluas enam hektare yang sebelumnya diketahui sebagai kawasan hutan mangrove di Desa Kuri Caddi, Kecamatan Maros.
Lahan tersebut kini berubah fungsi menjadi tambak ikan, memicu dugaan perusakan lingkungan yang tengah diselidiki Polres Maros.
Kepala BPN Maros, Murad Abdullah, menjelaskan bahwa SHM tersebut diterbitkan pada tahun 2009 atas nama seorang warga berinisial AM.
Menurutnya, penerbitan sertifikat ini dilakukan berdasarkan dokumen rincik, yang merupakan alas hak kepemilikan sebelum adanya sertifikat resmi.
“Pada saat SHM diterbitkan, kawasan itu belum ditetapkan sebagai hutan mangrove. Sertifikat diterbitkan berdasarkan dokumen yang sah sesuai prosedur waktu itu,” jelas Murad dalam konferensi pers, Kamis (1/2).
Murad menambahkan bahwa perubahan status lahan baru terjadi setelah terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2012, yang menetapkan area pesisir tersebut sebagai kawasan lindung hutan mangrove.
“Penetapan sebagai kawasan mangrove terjadi setelah SHM diterbitkan. Ini harus dilihat dari sudut pandang regulasi yang berlaku saat itu,” tambahnya.
Namun, penjelasan tersebut belum meredakan polemik. Kasat Reskrim Polres Maros, Iptu Aditya Pandu, menyatakan bahwa pihaknya tengah mendalami proses penerbitan SHM tersebut, terutama mengingat keberadaan tanaman mangrove yang sudah ada jauh sebelum sertifikat diterbitkan.
“Kami menemukan indikasi bahwa tanaman mangrove sudah tumbuh di lahan tersebut sebelum tahun 2009. Ini yang menjadi perhatian kami dalam penyelidikan. Mangrove adalah tanaman lindung, jadi tidak bisa begitu saja dialihfungsikan,” tegas Aditya.
Penyelidikan ini dimulai setelah laporan masyarakat mengenai perubahan fungsi lahan dari hutan mangrove menjadi tambak ikan.
Warga sekitar mengkhawatirkan dampak lingkungan akibat penghilangan vegetasi mangrove yang dikenal memiliki peran penting dalam mencegah abrasi, menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, serta menjadi habitat berbagai jenis biota laut.
Ahli lingkungan dari Universitas Hasanuddin, Dr. Mulyadi, menegaskan bahwa penghilangan hutan mangrove tanpa kajian lingkungan yang memadai dapat berdampak serius.
“Mangrove adalah benteng alami dari abrasi dan banjir rob. Perubahan fungsi tanpa memperhitungkan aspek lingkungan akan merugikan masyarakat pesisir dalam jangka panjang,” ujarnya.
Di sisi lain, AM selaku pemilik lahan, mengklaim bahwa dirinya telah mengelola lahan tersebut selama bertahun-tahun dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku saat mengurus SHM.
“Saya punya bukti kepemilikan yang sah, dan lahan itu saya kelola secara legal,” ujar AM saat dimintai keterangan.
Kasus ini menyoroti pentingnya sinkronisasi antara kebijakan pertanahan dan perlindungan lingkungan. Hingga kini, Polres Maros masih mengumpulkan bukti dan memeriksa sejumlah saksi untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum dalam kasus ini.
Pemerintah daerah diharapkan segera mengambil langkah untuk menengahi konflik ini, mengingat dampak sosial dan lingkungan yang mungkin timbul.
Jika terbukti ada pelanggaran, pihak berwenang menegaskan bahwa tindakan tegas akan diambil terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perusakan kawasan mangrove. (*)