Editorial

Editorial: Pudarnya Makna Kader dalam Partai Politik di Indonesia

Tim Redaksi
103
×

Editorial: Pudarnya Makna Kader dalam Partai Politik di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Kader Parpol

DALAM dinamika politik Indonesia, istilah “kader” menjadi begitu akrab di telinga masyarakat.

Kata ini merujuk pada individu yang menjadi bagian dari partai politik, baik dalam struktur kepengurusan maupun sebagai simpatisan aktif.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna kader tampaknya mengalami pergeseran signifikan, yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan: apakah kader masih memiliki makna idealnya dalam dunia politik kita?

Secara konseptual, kader seharusnya adalah individu yang dibina, dididik, dan ditempa untuk menjadi pemimpin masa depan yang memiliki komitmen terhadap ideologi serta nilai-nilai yang diusung oleh partai.

Kader tidak hanya sekadar anggota, tetapi juga representasi dari keberlanjutan dan eksistensi partai politik.

Di masa lalu, seorang kader harus melalui proses panjang pembelajaran politik, mulai dari tingkat akar rumput hingga jenjang kepemimpinan yang lebih tinggi.

Baca:  Editorial: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Tantangan Implementasinya

Namun, realitas yang terjadi saat ini sering kali bertolak belakang dengan konsep ideal tersebut. Banyak partai politik yang justru mengedepankan pragmatisme dalam merekrut kader.

Proses kaderisasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam mencetak pemimpin masa depan kini lebih sering diabaikan.

Sebagai gantinya, partai cenderung mengakomodasi figur-figur populer, seperti artis, pengusaha, atau tokoh dengan modal finansial besar, tanpa memperhatikan apakah mereka benar-benar memiliki pemahaman terhadap visi dan ideologi partai.

Akibatnya, istilah kader semakin kehilangan maknanya.

Banyak figur yang tiba-tiba muncul sebagai “kader” partai menjelang pemilu, hanya untuk mendapatkan tiket pencalonan, tanpa rekam jejak yang jelas dalam proses kaderisasi.

Baca:  Editorial: Terkuaknya Mega Korupsi, Ujian Serius bagi Komitmen Presiden Prabowo

Fenomena ini tidak hanya menciptakan kesenjangan dalam partai politik, tetapi juga merusak ekosistem demokrasi.

Kader-kader yang benar-benar berproses dari bawah sering kali kalah bersaing dengan mereka yang memiliki pengaruh instan, baik dari segi elektabilitas maupun kekuatan finansial.

Di sisi lain, lemahnya kaderisasi juga berkontribusi terhadap krisis kepemimpinan di partai politik. Ketika partai tidak memiliki sistem pembinaan kader yang kuat, regenerasi kepemimpinan menjadi tidak sehat.

Politik dinasti dan oligarki semakin menguat, dengan posisi strategis di partai lebih banyak ditentukan berdasarkan kedekatan personal atau kepentingan pragmatis ketimbang kapasitas dan rekam jejak.

Jika fenomena ini terus dibiarkan, maka partai politik akan kehilangan jati dirinya sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat.

Baca:  Editorial: Akhiri Siklus Banjir Makassar, Mampukah Pemimpin Baru?

Sebagai pilar utama demokrasi, partai semestinya kembali mengedepankan kaderisasi yang berkualitas, dengan menekankan pendidikan politik, penguatan ideologi, dan pembentukan karakter pemimpin yang kompeten.

Dalam konteks ini, publik juga memiliki peran penting untuk lebih kritis terhadap sosok-sosok yang diusung oleh partai politik.

Jangan hanya memilih berdasarkan popularitas atau janji manis kampanye, tetapi lihatlah bagaimana rekam jejak dan proses kaderisasi yang telah mereka jalani.

Dengan demikian, makna kader dalam politik Indonesia tidak sekadar menjadi label kosong, tetapi benar-benar mencerminkan individu yang siap mengabdi dan membawa perubahan nyata bagi bangsa. (*)