JAKARTA – Usulan menjadikan Kota Solo sebagai daerah istimewa menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, yang menilai langkah tersebut sarat kepentingan politik keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Usulan status Istimewa bagi Surakarta berlebihan dan potensial tidak produktif. Ini hanya wacana kekuasaan, bukan soal pemerataan pembangunan. Patut dicurigai usulan ini demi kepentingan segelintir pihak. Terlebih, itu daerah keluarga Jokowi, bisa ditafsir sebagai bagian dari upaya memperluas pengaruh politik keluarga,” kata Dedi, Selasa (29/4/2025), dikutip dari Inilah.com.
Menurut Dedi, konsep daerah istimewa di era sekarang sudah tidak relevan lagi. Sebagai negara kesatuan, Indonesia seharusnya kembali pada konsep pemerintahan yang setara di seluruh daerah, tanpa perlakuan politik khusus.
“Jika memang ada nilai sejarah atau budaya, maka yang diistimewakan cukup pada aspek kebudayaan saja, bukan secara struktural pemerintahan. Jangan sampai justru melahirkan ketimpangan baru,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa status istimewa bukan solusi atas persoalan daerah, melainkan berpotensi menambah beban negara dan menciptakan kecemburuan sosial.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa pihaknya akan mengkaji lebih lanjut usulan dari Kota Solo tersebut.
“Namanya usulan boleh saja, tapi nanti akan kita kaji. Ada kriterianya. Apa alasannya menjadi daerah istimewa?” ujar Tito di Jakarta, Jumat lalu.
Usulan ini juga sempat disuarakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, yang menyebutkan Solo sebagai satu dari enam daerah yang diusulkan menjadi daerah istimewa.
“Seperti daerah saya, Solo, minta pemekaran dari Jawa Tengah dan diminta dibikin Daerah Istimewa Surakarta,” ucap Aria Bima dalam rapat dengan Dirjen Otonomi Daerah di DPR RI.
Kementerian Dalam Negeri sendiri mencatat bahwa hingga April 2025 terdapat 341 usulan pemekaran daerah di Indonesia, termasuk enam usulan untuk menjadi daerah istimewa.
Namun usulan Solo ini kini justru memunculkan kekhawatiran publik bahwa langkah tersebut bukan murni aspirasi kultural atau administratif, melainkan bagian dari manuver politik dinasti. (*)