PALOPO — Akademisi dan peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Mega Buana (UMB) Palopo, Afrianto, angkat suara terkait dampak pertambangan emas di kawasan Gunung Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Menurutnya, eksploitasi emas oleh PT Masmindo Dwi Area berpotensi membawa bencana ekologis dan kerugian sosial jangka panjang yang tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang dijanjikan.
Gunung Latimojong, yang menjulang setinggi 3.478 meter di atas permukaan laut, selama ini menjadi penyangga ekosistem penting bagi sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Pinrang.
Namun, sejak ditemukannya potensi emas di kawasan ini, Afrianto menilai keberadaan alat berat dan aktivitas tambang telah “mengoyak tubuh Latimojong yang kokoh, tapi kini penuh luka.”
“Latimojong adalah rahim purba yang mengandung sungai, hutan, dan doa-doa manusia. Tapi sekarang, sungai itu tak lagi membawa berkah, melainkan lumpur. Hujan tidak lagi disambut akar-akar, karena hutan telah tercabut. Longsor dan banjir menjadi balasan,” ujar Afrianto dalam keterangannya, Sabtu (3/5).
Berdasarkan data dari situs resmi PT Masmindo, wilayah Kontrak Karya perusahaan ini mencakup 14.390 hektare dengan rencana produksi emas mulai 2025. Tahap awal eksploitasi akan berlangsung di lahan seluas 1.400 hektare selama 15 tahun.
Namun Afrianto menekankan bahwa klaim perusahaan mengenai penciptaan lapangan kerja dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah tidak cukup untuk menutupi kerusakan yang terjadi.
Ia menyebut bahwa dampak pertambangan kerap diikuti konflik horizontal di masyarakat, kerusakan lahan pertanian, serta hilangnya sumber daya air yang berasal dari kawasan hulu.
Mengutip konsep Total Economic Value (TEV), Afrianto menyatakan bahwa nilai kerugian jasa ekosistem — seperti manfaat langsung, manfaat tidak langsung, nilai eksistensi, dan nilai pilihan — perlu dihitung sebagai dasar penilaian kerusakan lingkungan.
“Untuk setiap rupiah yang dihasilkan dari tambang, ada biaya kerusakan lingkungan yang tidak masuk ke laporan keuangan perusahaan, tapi ditanggung masyarakat dan ekosistem. Ini ketidakadilan struktural,” tegasnya.
Lebih lanjut, kandidat doktor Ilmu Ekonomi dari Universitas Hasanuddin ini mendorong pemerintah daerah agar tidak pasif terhadap kebijakan pertambangan yang selama ini didominasi pemerintah pusat.
Ia menilai pemerintah daerah masih memiliki ruang untuk membangun skenario kebijakan melalui pendekatan politik valuasi lingkungan.
“Pemerintah daerah harus mulai berpikir strategis. Ada mekanisme hukum yang bisa dibangun untuk mengukur kerugian jasa ekosistem dan menentukan tanggung jawab perusahaan. Ini soal keberlanjutan dan keadilan antargenerasi,” katanya.
Afrianto juga menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga dan pemangku kepentingan dalam menyusun valuasi jasa ekosistem secara holistik, agar kerusakan yang terjadi tidak sekadar menjadi catatan kelam tanpa pertanggungjawaban.
“Semoga bupati dan wakil bupati di Luwu membaca ini bukan sebagai kritik belaka, melainkan sebagai pemantik diskusi kebijakan yang lebih bijak dan berpihak pada keselamatan lingkungan dan masa depan rakyat,” pungkasnya. (*)