JAKARTA – Gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai belum menunjukkan arah yang konsisten dan tegas. Wakil Ketua Umum DPP Gerakan Rakyat, Winston Herlanjaya, menilai bahwa upaya melawan korupsi justru melemah dalam beberapa tahun terakhir, terutama di era pemerintahan Joko Widodo.
Dalam pernyataan tertulis yang dirilis pada Senin (5/5/2025), Winston menyebut bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, namun upaya penanggulangannya cenderung mengalami fluktuasi.
Ia menyoroti bahwa pada masa pemerintahan Jokowi, agenda pemberantasan korupsi tak menjadi prioritas strategis. Bahkan, menurutnya, langkah-langkah yang diambil justru memperlemah institusi antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pemerintahan Jokowi bukan hanya tidak menempatkan pemberantasan korupsi sebagai program utama, tapi juga menjadi bagian dari sistem yang justru melemahkan upaya itu. Termasuk melalui revisi Undang-Undang KPK yang membatasi independensi lembaga tersebut,” ujar Winston.
Ia juga menyinggung soal masuknya sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ke dalam lingkaran kekuasaan, serta praktik politisasi terhadap isu korupsi yang membuat pemberantasannya kehilangan arah.
Meski demikian, Winston mengakui bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampak ingin mengembalikan semangat pemberantasan korupsi ke jalur yang lebih tegas. Namun, ia menilai bahwa komitmen tersebut masih diwarnai dengan kontradiksi.
“Presiden Prabowo pernah menyatakan akan mengejar koruptor hingga ke Antartika, tapi di kesempatan lain justru menyarankan agar koruptor melapor diam-diam dan akan diampuni asal mengembalikan uang negara. Ini menimbulkan anomali dalam arah kebijakan antikorupsi,” kata Winston.
Kendati demikian, Winston memberikan catatan positif terhadap langkah konkret yang mulai terlihat, seperti pengungkapan kasus dugaan korupsi jumbo di PT Pertamina Patra Niaga dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1.000 triliun oleh Kejaksaan.
Lebih lanjut, Winston juga menyoroti pernyataan Presiden Prabowo dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Monas, di mana ia menyatakan dukungannya terhadap pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset.
Namun, menurut Winston, sebagai kepala negara dengan dukungan politik mayoritas di parlemen, Prabowo seharusnya mengambil langkah lebih konkret.
“Pernyataan mendukung itu seharusnya dibarengi dengan langkah nyata, seperti mendesak DPR RI untuk segera memasukkan kembali RUU Perampasan Aset ke dalam Program Legislasi Nasional dan memprioritaskan pembahasannya,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa mengingat daruratnya situasi korupsi di Indonesia, Presiden semestinya mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar regulasi ini bisa segera berlaku dan digunakan secara efektif.
Di akhir keterangannya, Winston menegaskan pentingnya kelahiran UU Perampasan Aset sebagai pelengkap instrumen hukum pemberantasan korupsi.
Menurutnya, hukuman penjara terbukti belum cukup memberikan efek jera. Diperlukan langkah lebih progresif melalui pemiskinan koruptor agar negara dapat melakukan pemulihan aset secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dari sumber kekayaan yang sebelumnya dikorupsi. (*)