Pendidikan

Rektor UIM Tegaskan Barazanji Harus Dijaga, Warisan Nabi Tak Boleh Hilang

Tim Redaksi
×

Rektor UIM Tegaskan Barazanji Harus Dijaga, Warisan Nabi Tak Boleh Hilang

Sebarkan artikel ini

MAKASSAR – Universitas Islam Makassar (UIM) Al-Gazali kembali menunjukkan komitmennya dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi dengan menyelesaikan tahap persiapan penelitian bertajuk “Merawat Tradisi Beragama Barazanji Perempuan pada Masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan”.

Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Lantai 4 Gedung Rektorat UIM Al-Gazali, Kamis (21/5/2025).

Penelitian ini bertujuan menggali, mendokumentasikan, dan menguatkan eksistensi tradisi keagamaan Barazanji yang selama ini dijaga dan diwariskan secara turun-temurun oleh perempuan dalam masyarakat Bugis-Makassar, serta bagaimana peran mereka dalam menjaga kelangsungan tradisi Islam lokal di tengah dinamika zaman.

Hadir sebagai narasumber utama sekaligus pengarah kegiatan, Rektor UIM Al-Gazali, Prof. Dr. H. Muammar Bakry, Lc., M.Ag. menegaskan pentingnya penelitian ini tidak hanya sebagai bentuk akademik, tetapi juga sebagai upaya pelestarian nilai-nilai keagamaan yang telah menjadi warisan Islam Nusantara.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Prof. Nadir dan seluruh narasumber yang telah memberi masukan berarti untuk penguatan kajian ini. Penelitian ini bukan hanya tentang penguatan data di lapangan, tetapi juga menyampaikan pesan moral bahwa Barazanji adalah warisan dari Nabi yang tidak boleh hilang dalam masyarakat kita,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan tantangan terbesar saat ini bukan semata-mata pada metode pengumpulan data, melainkan bagaimana melihat keberlangsungan dan keberlanjutan dari tradisi Barazanji itu sendiri dalam kehidupan masyarakat, terutama di kalangan perempuan.

“Tantangan yang berat bagi saya adalah bagaimana melihat berlangsung dan keberlanjutan dari pada Barazanji itu. Maka dari itu, perlu ada penelitian yang terus berkelanjutan agar tradisi ini tidak hilang,” tegasnya.

Menurut Prof. Muammar, banyak pesantren, khususnya yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), masih secara konsisten mengajarkan Barazanji kepada santriwan dan santriwatinya.

Hal ini menjadi titik harapan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam melestarikan tradisi ini.

“Kita melihat pesantren-pesantren NU masih mengajarkan Barazanji kepada santriwatinya. Ini adalah bentuk pelestarian yang luar biasa, karena perempuan berperan aktif dalam menjaga ajaran-ajaran yang diwariskan secara turun-temurun,” lanjutnya.

Namun demikian, ia juga mengingatkan terdapat pihak-pihak tertentu di luar sana yang secara gencar menyerang keberadaan Barazanji, menganggapnya tidak relevan bahkan menyimpang.

Padahal kenyataannya, tradisi ini masih hidup dan menjadi bagian dari keseharian umat Islam di Sulawesi Selatan dan berbagai daerah lainnya.

“Di luar sana, kita tahu banyak yang gencar menyerang Barazanji. Tapi faktanya, sampai sekarang Barazanji masih hidup di tengah masyarakat. Maka ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaga dan melestarikannya,” pungkas Prof. Muammar.

Dalam forum tersebut, hadir pula sejumlah pakar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset yang turut memberi kontribusi pemikiran dan metodologi terhadap rencana penelitian ini.

Mereka di antaranya, Prof. Dr. H. A. Kadir Ahmad, M.S. dari Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN, Dr. Nur Setiawati, M.Ag., Ph.D dari Universitas Muslim Indonesia, Dr. Hj. Mardyawati, M.Ag dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Dr. Badruddin Kaddas, M.Ag., Ph.D dan Ahmad Najib, S.Ag., M.Pd dari Universitas Islam Makassar, Mubarak Idrus, S.Th.I dari Makassar Heritage Society dan Dr. Muh. Khumaidi Ali, M.Th.I dari STAI Al Furqon

Para peserta diskusi memberikan banyak catatan penting mengenai metode pelibatan masyarakat, pendekatan etnografi, serta pentingnya melibatkan tokoh perempuan dalam penelitian sebagai sumber informasi utama, mengingat mereka adalah pelaku sekaligus pewaris tradisi Barazanji.

Kegiatan diskusi berlangsung interaktif, ditandai dengan berbagai pertanyaan dan gagasan yang muncul dari peserta.

Salah satu isu yang mendapat sorotan adalah bagaimana posisi perempuan dalam melanjutkan tradisi ini tidak hanya di lingkungan keluarga, tetapi juga di ruang-ruang publik dan institusi pendidikan keagamaan.

Melalui kegiatan ini, UIM Al-Gazali menegaskan kembali posisinya sebagai institusi pendidikan tinggi yang tidak hanya fokus pada pengembangan akademik, tetapi juga pelestarian budaya dan keagamaan masyarakat lokal. (**)