HUBEI – China kembali membuktikan komitmennya dalam menjaga kelestarian lahan pertanian dengan membangun jalan raya layang Wuhan-Yangxin sepanjang 126 kilometer di Provinsi Hubei.
Alih-alih membangun jalan di atas tanah yang dapat mengorbankan lahan pertanian, pemerintah China memilih jalur lebih sulit dan mahal dengan mengangkat seluruh ruas jalan menjadi flyover.
Langkah ini bukan tanpa alasan. China memiliki aturan ketat mengenai tata ruang yang melarang konversi lahan pertanian untuk kepentingan apa pun, termasuk pembangunan infrastruktur.
Dengan kebijakan ini, pembangunan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, bukan sebaliknya.
Dari udara, jalan raya Wuhan-Yangxin tampak seperti jembatan raksasa yang mengapung di atas mosaik sawah dan perairan, menawarkan pemandangan yang menakjubkan.
Tidak hanya menjadi jalur transportasi strategis yang menghubungkan dua wilayah utama, jalan ini juga menjadi bukti bahwa pembangunan modern dapat berjalan selaras dengan ekosistem dan tradisi pertanian yang telah menghidupi masyarakat selama berabad-abad.

Lebih dari sekadar infrastruktur, proyek ini menunjukkan bagaimana inovasi dan kepatuhan terhadap aturan tata ruang bisa menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.
Jalan ini juga berdampak langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat sekitar tanpa harus mengorbankan lahan produktif yang menjadi sumber pangan.
Kebijakan Berbeda, Hasil Berbeda
Pendekatan yang dilakukan China ini sangat kontras dengan kebijakan pembangunan di Indonesia.
Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan sekitar 70.000 hektare lahan pertanian akibat alih fungsi untuk industri dan proyek infrastruktur strategis nasional (PSN).
Kebijakan yang lebih longgar dalam tata ruang membuat lahan produktif semakin tergerus, mengancam ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman terus terjadi di berbagai daerah, mulai dari Pulau Jawa hingga Sumatra dan Sulawesi.
Banyak petani yang kehilangan lahan garapan mereka, sementara produksi pangan dalam negeri semakin terancam.
Jika tren ini terus berlanjut, swasembada pangan yang selama ini digaungkan pemerintah bisa jadi hanya menjadi slogan tanpa realisasi.
China telah membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak harus selalu mengorbankan lahan pertanian.
Dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang tegas, mereka mampu menjaga keseimbangan antara modernisasi dan keberlanjutan.
Lantas, apakah Indonesia siap mengikuti jejak China dalam menjaga ketahanan pangan sambil tetap membangun infrastruktur?
Atau justru akan terus kehilangan ribuan hektare lahan produktif setiap tahunnya tanpa solusi nyata?
Keputusan ada di tangan pemangku kebijakan, tetapi yang pasti, masa depan ketahanan pangan Indonesia bergantung pada bagaimana kebijakan tata ruang diterapkan hari ini. (*)