Opini

200 Triliun ke Bank Himbara: Antara Stabilitas Ekonomi dan Keadilan Finansial Syariah

Tim Redaksi
×

200 Triliun ke Bank Himbara: Antara Stabilitas Ekonomi dan Keadilan Finansial Syariah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Baso Arfiansyah, SE (Pengurus DPW Muda Bergerak Sulawesi Selatan)

Baso Arfiansyah, SE (Pengurus DPW Muda Bergerak Sulawesi Selatan)
Baso Arfiansyah, SE (Pengurus DPW Muda Bergerak Sulawesi Selatan)

PEMERINTAH baru-baru ini menggulirkan kebijakan strategis dengan mengalokasikan Rp200 triliun ke Bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara).

Langkah ini tentu menjadi sinyal kuat terhadap upaya menjaga likuiditas dan mempercepat penyaluran pembiayaan ke sektor produktif.

Dalam konteks ekonomi konvensional, keputusan ini tampak rasional dan tepat. Namun, dari kacamata ekonomi syariah, kebijakan ini juga menyisakan catatan penting, terutama karena Bank Syariah Indonesia (BSI) hanya mendapat alokasi sekitar Rp10 triliun, atau setara 5 persen dari total dana tersebut.

Likuiditas sebagai Penggerak Utama

Secara konvensional, penempatan dana sebesar Rp200 triliun di Bank Himbara seperti BRI, BNI, Mandiri, dan BTN adalah upaya menjaga stabilitas keuangan nasional di tengah tekanan global dan penurunan daya beli masyarakat.

Dengan modal tambahan ini, bank-bank konvensional memiliki ruang lebih luas untuk memperluas pembiayaan, memperkuat fungsi intermediasi, serta menjaga kinerja kredit tetap sehat.

Dana tersebut diharapkan dapat mengalir ke sektor-sektor produktif, terutama UMKM, pertanian, dan industri kecil-menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Di sisi lain, suntikan dana ini juga diharapkan menekan potensi risiko likuiditas yang bisa menghambat roda perbankan nasional.

Namun, kebijakan ini harus diawasi dengan ketat. Jika tidak dikawal, potensi penyimpangan arah pembiayaan akan besar misalnya dana hanya terserap untuk kebutuhan korporasi besar atau proyek jangka pendek yang kurang menyentuh sektor riil. Maka transparansi menjadi harga mati.

Pemerintah harus memastikan bahwa Rp200 triliun ini benar-benar berdampak pada ekonomi rakyat, bukan sekadar menambah margin likuiditas bank.

Isu Proporsionalitas dan Maslahah

Di sisi lain, dari perspektif ekonomi syariah, fakta bahwa BSI hanya mendapat Rp10 triliun menjadi hal yang patut dicermati.

Dengan pangsa pasar perbankan syariah yang kini mencapai sekitar 7–8% dari total industri perbankan nasional, porsi itu terbilang belum sepadan.

Ekonomi syariah sejatinya berperan penting dalam mewujudkan sistem keuangan yang lebih berkeadilan, etis, dan menyejahterakan.

BSI, sebagai representasi utama perbankan syariah nasional, memiliki potensi besar dalam menyalurkan pembiayaan produktif berbasis nilai halal seperti musyarakah (kemitraan), mudharabah (bagi hasil), dan murabahah (jual beli).

Jika dana Rp10 triliun itu diarahkan dengan tepat, ia bisa menjadi katalis untuk menggerakkan ekosistem usaha halal, pesantren produktif, serta sektor riil berbasis komunitas umat.

Namun, secara prinsip maslahah, proporsi tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan distribusi antara bank konvensional dan bank syariah telah berjalan seimbang?

Dalam konteks kebijakan publik, dana negara idealnya dikelola berdasarkan asas manfaat dan pemerataan.

Bank syariah yang beroperasi dengan prinsip bebas riba dan orientasi sosial justru layak mendapat porsi lebih besar, bukan hanya karena pertimbangan ideologis, tetapi karena perannya yang nyata dalam membangun ekonomi rakyat kecil.

BSI dan Tantangan Menjadi Penyeimbang Sistem Keuangan Nasional

BSI kini memegang peran strategis sebagai tulang punggung keuangan syariah nasional. Namun, tantangan yang dihadapi bukan hanya pada kapasitas likuiditas, tetapi juga pada kepercayaan dan keberpihakan kebijakan.

Keterbatasan alokasi Rp10 triliun menunjukkan bahwa integrasi sistem keuangan syariah ke dalam kebijakan fiskal nasional masih perlu diperkuat.

Pemerintah seharusnya melihat BSI bukan sekadar sebagai bank pelengkap dalam kelompok Himbara, tetapi sebagai alternatif sistem keuangan yang berorientasi nilai dan keberkahan.

Dengan tambahan dukungan yang proporsional, BSI bisa memperluas pembiayaan kepada UMKM halal, koperasi pesantren, sektor pertanian berbasis komunitas, hingga proyek sosial berkelanjutan.

Langkah ini akan membawa dua manfaat besar sekaligus: meningkatkan inklusi keuangan syariah dan mendorong pemerataan ekonomi berbasis nilai-nilai keadilan.

Menyatukan Dua Paradigma: Ekonomi Tumbuh dan Ekonomi Berkah

Saya melihat kebijakan Rp200 triliun ini sebagai momentum reflektif bagi arah ekonomi Indonesia ke depan: apakah kita hanya ingin tumbuh secara angka, atau juga ingin tumbuh secara nilai.

Ekonomi konvensional menekankan efisiensi dan profit, sementara ekonomi syariah menekankan keadilan dan keberkahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru sinerginya yang harus diperkuat.

Jika pemerintah mampu menempatkan dana secara proporsional dengan memperhatikan nilai, manfaat, dan prinsip syariah maka kebijakan fiskal ini tidak hanya menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membangun ekosistem keuangan yang lebih inklusif, adil, dan bermoral.

Rp200 triliun bisa menjadi sejarah, bukan hanya sebagai intervensi ekonomi, tapi sebagai langkah menuju transformasi keuangan nasional yang berkeadilan dan bernilai ibadah. (*)