Opini

Tambahan Dana BRI, Antara Dorongan Produktif dan Ujian Akuntabilitas

Tim Redaksi
×

Tambahan Dana BRI, Antara Dorongan Produktif dan Ujian Akuntabilitas

Sebarkan artikel ini

Oleh: Baso Arfiansyah, SE (Wakil Sekretaris DPW Muda Bergerak Sulawesi Selatan)

BRI

HARI INI publik kembali menyorot langkah PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang meminta tambahan dana penempatan dari pemerintah.

Permintaan itu ditujukan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan sontak menimbulkan pro dan kontra di ruang publik.

Sebagai seseorang yang menaruh perhatian pada kebijakan ekonomi nasional, saya melihat langkah ini dari dua sis, yakni dorongan produktif yang berpotensi menggerakkan ekonomi rakyat, sekaligus ujian serius bagi tata kelola fiskal dan akuntabilitas BUMN perbankan kita.

Permintaan tambahan dana dari BRI pada dasarnya berangkat dari niat memperkuat penyaluran pembiayaan ke sektor riil, terutama bagi pelaku UMKM.

BRI memang memiliki sejarah panjang sebagai “bank rakyat” yang menjadi tulang punggung permodalan masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro di berbagai daerah.

Dalam konteks itu, langkah BRI tentu patut diapresiasi. Di tengah ekonomi yang masih berjuang pulih secara merata, suntikan likuiditas bisa menjadi dorongan baru untuk memperkuat pembiayaan produktif yang memberi efek ganda bagi perekonomian nasional.

Namun di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan lembaga pengawas keuangan tidak bisa begitu saja mengabulkan setiap permintaan tambahan dana tanpa kajian menyeluruh.

Dalam beberapa laporan disebutkan bahwa penyerapan dana sebelumnya oleh BRI belum sepenuhnya optimal. Ini tentu menjadi catatan penting.

Tambahan dana baru hanya akan efektif bila dana sebelumnya telah disalurkan dengan efisien dan tepat sasaran. Di sinilah saya melihat pentingnya evaluasi yang mendalam sebelum keputusan apapun diambil.

Kita semua memahami bahwa dalam konteks makroekonomi, penempatan dana pemerintah di bank-bank BUMN adalah bagian dari strategi fiskal untuk menjaga likuiditas dan mendorong pertumbuhan.

Namun, perlu diingat bahwa uang yang ditempatkan itu adalah dana publik. Maka, setiap rupiah yang dialirkan harus memiliki arah jelas, tujuan konkret, dan dampak nyata bagi masyarakat, bukan sekadar mempertebal neraca bank.

Saya berpendapat, langkah BRI meminta tambahan dana bukan sesuatu yang salah. Bahkan, bisa jadi itu langkah progresif jika dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi.

Tetapi pemerintah harus memastikan bahwa setiap penambahan disertai dengan indikator kinerja yang terukur seberapa besar dana yang benar-benar masuk ke sektor UMKM, berapa persen disalurkan ke daerah-daerah yang belum tersentuh akses perbankan, dan sejauh mana kredit tersebut mampu menciptakan lapangan kerja baru.

Saya memahami pandangan Menteri Purbaya yang menegaskan akan “memeriksa kesiapan BRI” sebelum menyetujui tambahan dana. Ini sikap yang bijak dan proporsional.

Kita tidak bisa hanya berpikir soal percepatan penyaluran, tetapi juga soal kesiapan sistem internal, kemampuan manajemen risiko, serta potensi moral hazard yang bisa muncul ketika bantuan likuiditas diberikan tanpa kendali yang kuat.

Bagi saya, kebijakan penempatan dana negara di bank BUMN seharusnya tidak sekadar bersifat stimulus jangka pendek, tetapi menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Jika BRI benar-benar siap, memiliki mekanisme kontrol internal yang kuat, serta mampu menunjukkan track record positif dalam penyaluran dana sebelumnya, maka tambahan dana memang layak diberikan.

Tapi jika masih ada kelemahan dalam pelaporan, kecepatan penyaluran, atau efektivitas penyerapan, maka langkah terbaik adalah memperkuat manajemen terlebih dahulu sebelum ekspansi lebih jauh.

Dalam situasi fiskal yang ketat dan tantangan ekonomi global yang masih bergejolak, saya menilai setiap kebijakan keuangan publik harus diambil dengan prinsip kehati-hatian dan orientasi manfaat.

Saya mendukung sinergi antara pemerintah dan BUMN perbankan, tetapi sinergi itu harus berbasis hasil, bukan sekadar hubungan administratif antara regulator dan pelaksana.

BRI memiliki reputasi baik dalam membiayai UMKM dan sektor produktif, dan potensi itu jangan sampai terganggu oleh persepsi negatif karena lemahnya akuntabilitas.

Saya percaya, jika pemerintah dan BRI sama-sama menjaga prinsip transparansi dan fokus pada dampak sosial-ekonomi, maka tambahan dana bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan investasi nyata bagi kesejahteraan rakyat kecil.

Akhirnya, saya memandang permintaan tambahan dana ini bukan sekadar isu teknis perbankan, tetapi refleksi dari arah kebijakan ekonomi nasional kita. Apakah kita mampu menyeimbangkan antara kecepatan pemulihan dan ketelitian pengelolaan fiskal.

Jika keduanya bisa berjalan seiring, maka BRI tidak hanya menjadi “bank rakyat”, tetapi juga simbol tanggung jawab fiskal dan keberpihakan nyata pada ekonomi kerakyatan. (*)