JAKARTA — Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, kembali membuka luka lama praktik korupsi kepala daerah yang terus berulang dari masa ke masa.
Penangkapan yang dilakukan di awal November 2025 itu bukan sekadar insiden hukum, melainkan cerminan betapa rentannya kekuasaan daerah terhadap penyalahgunaan wewenang — terutama dalam pengelolaan proyek dan belanja publik.
KPK membenarkan adanya penindakan di wilayah Riau. Sebanyak 10 orang diamankan, termasuk sang gubernur, bersama sejumlah uang tunai yang ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.
“Benar, ada kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK di wilayah Provinsi Riau. Saat ini sekitar sepuluh orang diamankan,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Senin (3/11/2025).
Menurut sumber internal, OTT kali ini berkaitan dengan dugaan suap proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
Skema serupa berulang di banyak kasus sebelumnya, dimana kontraktor “menyisihkan” sebagian nilai proyek untuk pejabat sebagai syarat memenangkan tender.
Dalam banyak kasus, praktik ini berlangsung sistematis — melibatkan pejabat struktural, pihak swasta, bahkan anggota DPRD.
Riau, Provinsi dengan Rekam Jejak Korupsi Panjang
Penangkapan Abdul Wahid memperpanjang daftar pejabat tinggi Riau yang berurusan dengan KPK.
Dalam dua dekade terakhir, provinsi ini beberapa kali menjadi pusat operasi antikorupsi nasional, mulai dari kasus mantan gubernur, bupati, hingga pejabat OPD.
Kondisi ini menegaskan bahwa upaya pencegahan korupsi di daerah belum menyentuh akar persoalan, yakni lemahnya sistem pengawasan, politik patronase, dan budaya transaksional dalam birokrasi.
Meski KPK telah melakukan berbagai program pencegahan, seperti Monitoring Center for Prevention (MCP) dan pendidikan antikorupsi, faktanya, godaan rente kekuasaan tetap menjadi jebakan klasik bagi kepala daerah.
Kekayaan Abdul Wahid
Sebelum menjabat gubernur, Abdul Wahid dikenal sebagai politikus dan mantan anggota DPR RI periode 2019–2024.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2023, ia tercatat memiliki aset senilai Rp4,8 miliar, sebagian besar berupa tanah dan bangunan di Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hilir, serta Jakarta Selatan.
Data itu seolah menggambarkan kesejahteraan pejabat publik yang terukur dan transparan.
Namun, bila dugaan korupsi ini terbukti, maka citra itu berubah menjadi ironi — antara laporan kekayaan yang sah dan kekayaan tak wajar dari hasil penyalahgunaan jabatan. (*)
















