JAKARTA — Di tengah gejolak harga nikel global dan perlambatan ekonomi Tiongkok, dua raksasa tambang di bawah naungan Holding BUMN Tambang MIND ID, yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Vale Indonesia Tbk (Vale Indonesia), justru mencatatkan kinerja impresif pada kuartal III-2025.
Namun di balik pencapaian itu, pengamat pertambangan dan energi Ferdy Hasiman mengingatkan bahwa pemerintah perlu segera memperkuat desain industri nasional agar agenda hilirisasi nikel tidak berhenti di produk antara seperti feronikel dan nikel matte.
“Untuk industri nikel, permintaan global akan tetap tinggi. Tapi pemerintah harus menata arah hilirisasi secara menyeluruh. Kalau tidak, kita akan terus berhenti di produk antara,” ujar Ferdy kepada Warta Ekonomi, Rabu (5/11/2025).
Kinerja Gemilang
Secara fundamental, performa dua perusahaan tambang ini memang tangguh.
Antam melaporkan lonjakan produksi bijih nikel hingga 12,55 juta wmt, naik 72% year-on-year, dengan penjualan mencapai 11,23 juta wmt, melonjak 97% dibanding periode sama tahun lalu.
Sementara itu, Vale Indonesia mencatat produksi nikel matte 19.391 ton, tumbuh 4% secara kuartalan, dengan laba bersih US$27,2 juta, melonjak signifikan dari US$3,5 juta pada kuartal sebelumnya.[¹]
“Sekarang produk antara dari MIND ID sudah menjadikannya salah satu grup tambang besar yang diperhitungkan dunia. Dulu Antam asetnya cuma sekitar Rp1–3 triliun, sekarang hampir Rp200 triliun,” ungkap Ferdy.
Ketimpangan Hilirisasi
Meski kinerja finansial mengesankan, Ferdy menilai hilirisasi industri nikel nasional masih parsial.
Indonesia, kata dia, masih terlalu fokus pada nikel sebagai bahan baku baterai lithium-ion jenis NMC (nikel, mangan, kobalt) — padahal tren global mulai berubah.

“Baterai mobil listrik di Tiongkok sekarang bukan lagi menggunakan lithium-ion jenis NMC. Mereka sudah beralih ke teknologi lain, seperti LFP (lithium ferrophosphate). Sementara Indonesia masih fokus di NMC,” jelas Ferdy.
Perubahan tren ini menunjukkan perlunya strategi industri yang adaptif terhadap perubahan teknologi global agar Indonesia tidak tertinggal.
“Desain industri nasionalnya belum jelas. Pemerintah perlu membuat desain yang lebih menyeluruh agar hilirisasi menghasilkan nilai tambah yang maksimal,” tegasnya.
Vale dan Antam, Pilar dalam Ekosistem Nikel Nasional
Menurut Ferdy, sinergi antara Vale dan Antam di bawah MIND ID sudah membentuk fondasi kuat rantai pasok nikel nasional.
Vale, misalnya, dikenal sebagai perusahaan tambang yang konsisten menjalankan Good Corporate Governance (GCG) dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan.
“Vale justru salah satu perusahaan yang paling baik tata kelolanya. Mereka bahkan menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sendiri di Sungai Matanau. Jadi, cap ‘dirty nickel’ itu tidak relevan untuk mereka,” ujar Ferdy menepis isu negatif yang sempat berkembang.
Sementara Antam, lewat ekspansi produksi dan kolaborasi dengan investor global, berhasil meningkatkan kapasitas hilir di sektor feronikel dan stainless steel.
“Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mendorong agar kedua perusahaan ini bisa naik tingkat — dari produk antara menjadi produsen barang jadi,” tambahnya.
Penguatan Industri Hilir
Ferdy menilai, penguatan industri hilir nikel akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Dengan permintaan logam untuk kendaraan listrik, infrastruktur energi, dan manufaktur yang terus meningkat, Indonesia berpeluang menjadi pusat rantai pasok logam strategis dunia, asalkan desain kebijakannya tepat.
“Ekonomi nasional ke depan tidak boleh hanya bertumpu pada APBN. Harus ada sektor industri strategis seperti nikel yang menopang pertumbuhan,” ujarnya.
“Contohnya di Bangka Belitung, industri timah sudah menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Nikel bisa memainkan peran yang sama bagi Sulawesi,” pungkas Ferdy. (*)

























