EUFORIA merebak di kalangan civitas akademika Universitas Hasanuddin (Unhas) usai penjaringan calon rektor pada Senin, 3 November 2025 lalu.
Dari 93 anggota Senat Akademik (SA) yang memberikan suara, nama Prof Jamaluddin Jompa (JJ) melesat jauh dengan 74 suara, disusul Prof Budu dengan 18 suara, dan Prof Sukardi Weda yang memperoleh 1 suara.
Bagi sebagian civitas akademika, hasil ini seolah sudah mengunci kepemimpinan Unhas lima tahun ke depan.
Narasi “rektor baru sudah terpilih” mulai bergema, seakan pemilihan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) di Januari 2026 nanti hanyalah formalitas.
Padahal politik kampus tidak sesederhana itu. Pemilihan rektor di MWA bukan sekadar kelanjutan mekanis dari hasil penjaringan SA.
Ia adalah arena politik tersendiri, tempat jejaring kepentingan, komunikasi, dan persepsi kekuasaan saling memengaruhi. Dan dalam ruang seperti itu, hasil bisa berbalik dan berubah kapan saja.
Ada total 25 suara dari 17 orang yang akan memilih calon rektor di MWA yang akan menentukan siapa rektor Unhas berikutnya. Suara dari Mendiktisaintek dihitung berjumlah 9.
Selebihnya tersisa 16 suara, mulai dari 1 suara Ketua MWA, 1 suara masing-masing dari Gubernur Sulsel, Ketua IKA Unhas dan Ketua BEM Unhas (jika ada).
Lalu 3 suara dari unsur komunitas (Tony Wenas, M. Arsjad Rasjid dan pengganti Bahlil Lahadalia), 7 suara dari unsur dosen dan 2 suara dari unsur tenaga kependidikan.
Kita tentu masih ingat Pilrek Unhas 2021. Kala itu, Prof Budu unggul di penjaringan SA dengan 29 suara, sementara Prof JJ hanya 22. Namun di tahap MWA, situasi berbalik total dimana Prof JJ yang akhirnya terpilih.
Artinya, suara terbanyak di SA tidak selalu berbanding lurus dengan hasil akhir. Setiap calon rektor dalam pemilihan di MWA sesungguhnya bisa dianggap mulai dari nol.
Fenomena ini menyingkap kenyataan bahwa kampus pun punya model politiknya sendiri.
Dunia akademik yang seharusnya steril dari aroma kekuasaan ternyata juga dipenuhi dinamika transaksional, terutama ketika proses pemilihan rektor melibatkan banyak tangan dan kepentingan.
Dalam sistem saat ini, model pemilihan rektor di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk PTN-BH memberi ruang terlalu besar bagi politik dan kompromi.
Dari penjaringan hingga keputusan akhir di MWA, berbagai kepentingan bisa saja bermain — mulai dari jejaring alumni, pengaruh birokrasi, hingga kepentingan eksternal yang menembus dinding kampus.
Ironisnya, potensi politik transaksional bukan hanya bisa terjadi di level MWA, tapi bisa menjalar sejak di Senat Akademik.
Para guru besar yang semestinya menjadi benteng penjaga moral dan rasionalitas akademik, terkadang ikut terjebak atau dijebak dalam kalkulasi dukungan, balas budi, dan negosiasi posisi.
Yang tak kalah menyedihkan, sebagian pihak malah menganggap ini sebagai hal lumrah, seperti juga lazim terjadi di Pilkada.
Karena itu, dalam pandangan saya, sudah saatnya model pemilihan rektor PTN dievaluasi.
Sistem yang terlalu politis perlu diganti dengan mekanisme yang lebih meritokratis dan transparan melalui seleksi berbasis kinerja, rekam jejak akademik, serta uji publik yang terbuka.
Posisi sebagai rektor bukan hanya pemimpin administratif, melainkan simbol moral dan intelektual universitas. Maka proses pemilihannya pun harus bersih dari aroma transaksi.
Euforia pasca penjaringan boleh-boleh saja, tetapi jangan lupa bahwa demokrasi kampus yang sehat bukan hanya soal siapa yang akhirnya muncul sebagai rektor, tapi bagaimana prosesnya dijaga tetap terhormat dan bermartabat. (*)

























