Opini

Prof Budu dan Misi yang Tertunda di Pilrek Unhas

Tim Redaksi
×

Prof Budu dan Misi yang Tertunda di Pilrek Unhas

Sebarkan artikel ini

Oleh: Asri Tadda (Alumni Universitas Hasanuddin)

Asri Tadda, alumni Universitas Hasanuddin (Foto: IST)
Asri Tadda, alumni Universitas Hasanuddin (Foto: IST)

PEMILIHAN Rektor (Pilrek) Universitas Hasanuddin (Unhas) kali ini terasa ngeri-ngeri sedap.

Meski berbeda dengan Pilkada dalam hal basis pemilih, namun aroma politiknya sulit disembunyikan.

Tak bisa dihindari, masing-masing calon rektor punya barisan pendukung, baik di lingkungan kampus maupun di jejaring alumni.

Hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara di Senat Akademik (SA), grup-grup WhatsApp alumni nyaris penuh dengan perdebatan tentang siapa yang paling layak menakhodai kampus merah empat tahun ke depan.

Namun di tengah dinamika itu, nama Prof Budu kembali mencuat dengan kuat.

Bagi sebagian kalangan, keikutsertaannya kali ini bukan sekadar upaya merebut kursi rektor, melainkan misi untuk menuntaskan cerita yang sempat tertunda pada 2021 lalu.

Kala itu, Prof Budu mencatat sejarah sebagai pemenang penjaringan di Senat Akademik dengan 29 suara—tertinggi di antara kandidat lainnya.

Tapi, sejarah juga mencatat bahwa kemenangan di Senat tidak menjamin jalan ke kursi rektor, karena keputusan final ada di tangan Majelis Wali Amanat (MWA).

Di sana, nasib berkata lain. Prof Jamaluddin Jompa (JJ) justru keluar sebagai pemenang dan kemudian dilantik sebagai rektor Unhas, meski hanya meraih 21 suara di Senat Akademik.

Bagi banyak pihak, momen itu akhirnya dimaknai bahwa politik di kampus bisa sekompleks politik di luar pagar akademik.

Prof. dr. Budu, Ph.D., Sp.M(K), M.MedEd, Calon Rektor Unhas (Foto: IST)

Kini, empat tahun berselang, Prof Budu (seharusnya) jauh lebih matang.

Ia tentu telah belajar banyak dari pengalaman pahit itu—tentang pentingnya bukan hanya mendapat dukungan akademik, tetapi juga kemampuan berselancar di medan elitis MWA, tempat di mana nalar akademik kerap beradu dengan kalkulasi kekuasaan.

Sebagai mantan Dekan Fakultas Kedokteran dan Sekolah Pascasarjana Unhas yang dikenal visioner dan disiplin, Prof Budu membawa reputasi kuat di bidang akademik dan manajerial.

Di masa kepemimpinannya, kedua institusi itu menorehkan banyak kemajuan, baik dalam tata kelola pendidikan, penelitian, maupun pengembangan jejaring internasional.

Karakter kepemimpinan seperti ini memberi harapan bahwa jika terpilih kali ini, Unhas akan kembali pada tradisi akademik yang unggul dan bermartabat—menjadi kampus yang bukan hanya besar karena jumlah mahasiswa, tetapi juga karena bobot gagasan dan pengaruh intelektualnya.

Pilrek kali ini, bagi Prof Budu, bukan hanya soal mengulang kontestasi, melainkan soal memulihkan marwah.

Ia tampak seperti seorang ilmuwan yang datang lagi ke gelanggang dengan bekal pengalaman, luka, kedewasaan dan tekad baru yang lebih besar.

Bagi kampus merah, inilah momentum untuk membuktikan, apakah pilihan akademik yang rasional akan kembali dihargai, atau politik kampus masih menjadi panglima?

Kita tunggu saja hasilnya. (*)

Enreco, 2 November 2025.