JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah berlangsung menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat.
Salah satu suara penolakan datang dari romas Gerakan Rakyat, yang menilai bahwa aturan baru ini berpotensi mengembalikan peran militer dalam pemerintahan sipil, sesuatu yang sudah dihapus sejak reformasi 1998.
Juru bicara Gerakan Rakyat, Yusuf Lakaseng, menyampaikan keprihatinannya terhadap tren belakangan ini, di mana tentara dan polisi aktif kembali diberikan posisi dalam jabatan sipil.
Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme militer yang menjadi pilar utama demokrasi.
“Reformasi 1998 sudah menegaskan bahwa TNI harus tetap fokus sebagai alat pertahanan negara dan tidak boleh terlibat dalam politik maupun bisnis. Namun, dengan adanya RUU ini, kita justru melihat ada upaya untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI,” ujar Yusuf dalam pernyataannya pada Minggu (16/3).
Kekhawatiran akan Kembalinya Dwifungsi TNI
Gerakan Rakyat menyoroti sejumlah poin dalam RUU TNI yang dianggap bisa membuka jalan bagi kembalinya militer ke ranah sipil.
Salah satu kekhawatiran utama adalah kemungkinan perwira aktif kembali menduduki jabatan di institusi sipil. Jika itu terjadi, dikhawatirkan prinsip netralitas TNI akan tergerus, sehingga militer bisa menjadi bagian dari sistem pemerintahan, bukan sekadar alat pertahanan negara.
Selain itu, Gerakan Rakyat juga menekankan bahwa masuknya militer ke ranah sipil dapat melemahkan mekanisme kontrol demokratis.
Tanpa pengawasan yang ketat, keberadaan tentara dalam birokrasi sipil bisa berujung pada meningkatnya otoritarianisme dan menurunnya akuntabilitas kebijakan publik.
“Jika RUU ini disahkan, sulit untuk memastikan bahwa TNI tidak akan digunakan sebagai alat kekuasaan. Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi sipil,” tegas Yusuf.
Dampak Terhadap Profesionalitas TNI
Selain dinilai merusak demokrasi, kebijakan ini juga dianggap bisa mengganggu profesionalisme militer. Dengan ditempatkannya perwira aktif dalam jabatan sipil, dikhawatirkan fokus utama TNI sebagai institusi pertahanan negara akan melemah.
Menurut Gerakan Rakyat, birokrasi sipil dan struktur militer memiliki mekanisme kerja yang berbeda.
Jika anggota TNI aktif terlibat dalam jabatan sipil, bukan tidak mungkin keputusan-keputusan yang diambil akan lebih bernuansa militeristik, yang bisa mengesampingkan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik dalam pemerintahan.
“Reformasi sudah menegaskan bahwa TNI harus profesional dan tidak berpolitik. Jika aturan ini diberlakukan, bukan hanya demokrasi yang terancam, tetapi juga profesionalitas tentara sendiri,” tambah Yusuf.
Seruan untuk Menolak RUU TNI
Menanggapi situasi ini, Gerakan Rakyat menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, serta kelompok pro-demokrasi untuk mengawal pembahasan RUU TNI dan menolak segala bentuk intervensi militer dalam pemerintahan sipil.
Mereka mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan bahaya ketika militer memiliki peran dalam pemerintahan, yakni meningkatnya represi terhadap rakyat serta penyimpangan dalam tata kelola negara.
Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU TNI dan memastikan bahwa prinsip demokrasi tetap dijaga.
“Kita tidak boleh mundur ke belakang. TNI harus tetap berada di jalurnya sebagai alat pertahanan negara, bukan alat politik,” pungkas Yusuf. (rls)