MAKASSAR — Polemik terkait sewa lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe yang berlokasi di daerah Lampia, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur terus bergulir.
Mantan Bupati Luwu Timur dua periode (2005–2015), H. Andi Hatta Marakarma atau akrab disapa Opu Hatta, kembali menegaskan bahwa dirinya tak ingin mencampuri urusan tata kelola kawasan industri di Lutim, karena hal itu merupakan kewenangan pemerintah daerah saat ini.
Namun, ia mengaku terpanggil untuk bersuara lantaran lahan kompensasi tersebut kini diduga telah disewakan oleh Pemkab Luwu Timur kepada investor kawasan industri, yaitu PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
“Saya yang bertandatangan di dokumen MoU dengan PT INCO sebagai Bupati Luwu Timur. Seingat saya tahun 2006. Lahan di Lampia itu adalah kompensasi dari lahan hutan lindung yang tenggelam di Karebbe karena pembangunan PLTA saat itu,” jelas Opu Hatta melalui sambungan telepon ke redaksi, Sabtu (1/11) malam.
Reboisasi, Bukan Komersialisasi
Opu Hatta mengungkapkan, lahan pengganti hutan lindung seluas sekitar 390 hektare itu secara tegas diperuntukkan untuk penghijauan (reboisasi) dan bukan untuk kegiatan komersial.
“Saya kira INCO sudah keluarkan banyak biaya juga untuk menanam pohon atau tanaman produktif di areal itu. Karena memang tujuannya untuk menggantikan kawasan hutan lindung yang sudah digunakan PLTA Karebbe,” ujarnya.
Penegasan ini sekaligus menepis anggapan bahwa lahan tersebut dapat dialihfungsikan untuk kepentingan industri.
Menurutnya, perubahan peruntukan tanpa dasar hukum yang kuat akan menyalahi semangat awal perjanjian dan prinsip kompensasi lingkungan.
Isi dan Syarat Teknis MoU Tahun 2006
Berdasarkan dokumen MoU antara Pemkab Luwu Timur dan PT INCO tahun 2006 yang diperoleh redaksi, disebutkan bahwa lahan kompensasi harus memiliki luas dua kali lipat dari luas kawasan hutan yang dipinjampakai untuk pembangunan PLTA Karebbe — yakni sekitar 390 hektare.
Agar dapat diterima oleh pemerintah, melalui kementerian atau lembaga berwenang, lahan kompensasi itu harus memenuhi sejumlah kriteria teknis dan administratif, antara lain:
- Memiliki status yang jelas, tidak dalam sengketa, dan didukung dasar hukum kepemilikan yang sah.
- Bebas dari hak pihak lain serta segala bentuk pembebanan seperti HGU, hak pakai, atau hak milik.
- Berbatasan langsung dengan kawasan hutan, agar memudahkan proses integrasi dalam tata ruang kehutanan.
- Terletak dalam Sub-DAS atau DAS yang sama, serta masih berada di pulau yang sama dengan lokasi hutan yang digunakan.
- Memiliki kondisi yang memungkinkan untuk dihutan kembali (revegetasi) dengan metode konvensional.
Setelah memenuhi seluruh persyaratan tersebut, lahan dimaksud kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan negara.
Khawatir Penyimpangan Fungsi
Opu Hatta menilai, apabila lahan yang dulu telah direboisasi kini digunakan sebagai kawasan industri, maka hal itu berpotensi melanggar ketentuan lingkungan dan perjanjian awal yang berlaku.
“Kalau benar lahan itu dulunya kawasan hutan yang sudah dihijaukan lalu dijadikan kawasan industri, itu jelas menyalahi aturan,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah daerah dan instansi terkait dapat memberikan klarifikasi terbuka agar publik tidak menduga-duga.
“Masyarakat berhak tahu agar semuanya jelas,” ujarnya menambahkan.
Jejak Panjang Sejak MoU 2006
Persoalan lahan kompensasi PLTA Karebbe berawal dari perjanjian antara PT INCO (kini PT Vale Indonesia) dengan Pemkab Luwu Timur pada 2006, yang menetapkan Lampia sebagai lokasi lahan pengganti hutan lindung yang terdampak proyek PLTA Karebbe.
Namun, dalam perkembangannya, data menunjukkan terjadi perubahan luasan dan titik koordinat lahan — dari 390 hektare menjadi sekitar 394,5 hektare.
Kondisi ini kemudian memunculkan tanda tanya publik mengenai dasar hukum dan status lahan tersebut, terutama setelah muncul rencana pemanfaatannya oleh investor industri.
Menutup keterangannya, Opu Hatta mengingatkan semua pihak bahwa lahan kompensasi merupakan amanah lingkungan hidup yang seharusnya dijaga, bukan dijadikan objek ekonomi semata.
“Ini soal tanggung jawab kita menjaga keseimbangan alam. Kalau kompensasi hutan berubah fungsi lagi, di mana nilai kompensasinya?” pungkasnya menutup percakapan. (*)



















