Berita

Kasus Sewa Lahan PT IHIP, Akademisi Nilai DPRD Luwu Timur Lalai Jalankan Fungsi Pengawasan

Tim Redaksi
×

Kasus Sewa Lahan PT IHIP, Akademisi Nilai DPRD Luwu Timur Lalai Jalankan Fungsi Pengawasan

Sebarkan artikel ini
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, SH, MH (Foto: IST)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, SH, MH (Foto: IST)

MAKASSAR – Kontroversi penyewaan lahan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) kini merambah ke ranah politik daerah.

Sorotan datang dari kalangan akademisi hukum yang menilai bahwa DPRD Luwu Timur gagal memainkan peran pengawasan terhadap kebijakan eksekutif.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, SH, MH, menegaskan bahwa setiap kebijakan terkait Barang Milik Daerah (BMD) tidak bisa dilakukan sepihak oleh kepala daerah.

Ia mengingatkan bahwa PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, sebagaimana diubah dengan PP Nomor 28 Tahun 2020, secara tegas mewajibkan adanya keterlibatan DPRD dalam proses tersebut.

“Kalau DPRD tidak dilibatkan, maka fungsi kontrol terhadap pemerintah daerah menjadi lumpuh. Padahal, mereka adalah representasi rakyat yang berhak tahu bagaimana aset daerah dikelola,” ujar Jermias, Sabtu (11/10).

Menurutnya, DPRD seharusnya tidak hanya menunggu laporan dari pihak eksekutif, tetapi aktif melakukan klarifikasi dan penelusuran terhadap setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik dan potensi penerimaan daerah.

Apalagi, muncul laporan bahwa nilai sewa lahan kepada PT IHIP dianggap terlalu murah dan dilakukan tanpa transparansi yang memadai.

“DPRD punya kewenangan politik dan moral untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan dalam kebijakan sewa-menyewa aset publik,” tambahnya.

Jermias juga menilai bahwa diamnya DPRD di tengah isu publik seperti ini dapat menimbulkan kesan adanya kompromi politik antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah.

Ia menekankan bahwa dalam konteks otonomi daerah, checks and balances hanya akan berjalan bila DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara independen dan berani.

Selain aspek politik, ia juga mengingatkan potensi konsekuensi hukum. Jika ditemukan indikasi penyimpangan dalam perjanjian sewa lahan tersebut, maka kasus ini dapat berimplikasi pada pelanggaran administrasi hingga dugaan tindak pidana korupsi.

“Keterlibatan DPRD bukan formalitas. Ini soal legitimasi dan pertanggungjawaban publik. Kalau pengawasan lemah, maka risiko penyimpangan semakin besar,” tegasnya.

Jermias pun mendorong agar DPRD Luwu Timur segera memanggil pihak eksekutif untuk memberikan penjelasan terbuka dalam forum resmi.

Langkah itu, menurutnya, menjadi bukti bahwa lembaga legislatif masih menjalankan amanat rakyat secara bertanggung jawab.

“Kita butuh politik daerah yang transparan, bukan politik diam di tengah isu publik,” pungkasnya. (*)